Sanksi Pelanggaran Pembajakan Terhadap Hak Cipta Dalam Perspektif Hukum Islam Berdasarkan Hasil Kajian Yuridis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Proses penciptaan suatu hukum yang ditujukan oleh manusia tidak bisa terlepas dari konsekuensi hukum atau sanksi. Sanksi yang dilekatkan pada aturan hukum sebenarnya tidak semata mata untuk menghukum dan menyelesaikan permasalahan tersebut , namun di luar itu banyak hikmah yang ada didalamnya. Sanksi yang ada didalam suatu hukum dapat memberikan efek jera dan sebagai media pertobatan pada pelaku pelanggar hukum dan juga membebaskan rasa bersalah pada pelaku.
Dalam hukum Islam, penegakan sanksi terhadap para pelanggar ketentuan hukum pidana Islam sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri (pemerintah yang berkuasa). Sebab mengapa hukuman terhadap pelaku pembajakan tersebut diserahkan kepada pemerintah karena permasalahan mengenai pembajakan hak cipta tidak diatur secara tekstual dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Penegakan hukuman pidana islam tidak serta merta dilakukan tanpa adanya hikmah dibaliknya. Menurut Makhrus Munajat dalam pemidanaan Islam setidaknya mencakup teori pemidanaan Islam dapat dijelaskan sebagai berikut (Makhrus Munajat, 2009: 288-290)
a) Menurutnya, pemidanaan dilakukan sebagai bentuk pembalasan (retribution), artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan . Jangka panjang aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas (Social defence). Contoh hukum qisas.
b) Selain sebagai pembalasan, pemidanaan merupakan bentuk pencegahan kolektif atau general prevention artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh: orang berzina harus didera dimuka umum sehingga orang lain melihat dan diharapkan tidak melakukan perzinaan.
c) Dan yang terakhir, pemidanaan dimaksud sebagai bentuk special prevention (pencegahan khusus) artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi, dalam aspek ini terkandung nilai treatment.
Pencurian sendiri dalam hukum Islam dibagi lagi menjadi beberapa macam ditinjau dari sisi hukumannya. Pencurian dalam syariat Islam terdapat dua macam hukuman:
1) Pencurian yang hukumannya Had
Pencurian ini dihukum dengan potong tangan dimana hukuman ini merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana pencurian. Hal ini berdasarkan dalam surat Al-Maidah ayat 38 yang berarti:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduannya, sebagai pembalasan apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. (Departemen Agama Republik Indonesia, 2007 : 114)
Mengenai eksekusi terhadap hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: Jika ia mencuri potonglah tangan (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri), jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri) kemudian apabila ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kanan).
2) Pencurian yang hukumannya ta’zir
Pencurian dengan hukuman ta’zir merupakan hukuman yang ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah yang berkuasa) . Dalam hal ini bisa merupakan hukuman potong tangan maupun hukuman denda atau perampasan terhadap hak dan atau harta. Ta’zir dibagi menjadi empat kelompok yaitu :
a) Hukuman badan seperti mati dan dera;
b) Hukuman berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti penjara dan pengasingan;
c) Hukuman berkaitan dengan harta seperti denda, penyitaan dan penghancuran barang serta;
d) Hukuman lain yang ditentukan pemerintah demi kemaslahatan umum.
Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan mengenai status hukum tindakan pembajakan karya di bidang hak cipta berdasarkan metode qiyas menghasilkan kesimpulan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilarang karena berhukum haram. Begitupun dengan sanksi yang dijatuhkan pada pelaku pembajakan, dikarenakan perbuatan tersebut disamakan dengan perbuatan pencurian, maka sanksi yang dijatuhkan sesuai denga ketentuan yang ditetapkan dalam hukum Islam yaitu had atau potong tangan.
Adapun syarat hukuman potong tangan atas adalah:
1. Pencurinya telah baligh, berakal sehat dan ikhtiyar.
Dengan demikian anak-anak dibawah umur yang melakukan pencurian tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan, tetapi walinya dapat dituntut untuk mengganti harga harta yang dicuri anak tersebut. Dibawah perwaliannya si-anak dapat diberi pelajaran seperlunya. Orang gila yang mencuri juga tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan demikian juga orang dewasa sehat akal yang melakukan pencurian atas dasar desakan ataupun daya paksa tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Khalifah Umar bin Khaththab pernah tidak melaksanakan hukuman potong tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan (paceklik) karena dirasakan adanya unsur keterpaksaan disana. Pencuri yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman ta’zir, atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada pertimbangan hakim.
2. Pencuri benar-benar mengambil harta orang yang tidak milik bagi orang tersebut.
3. Pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semestinya, sesuai dengan harta yang dicuri. Orang yang mencuri buah dipohon yang tidak dipagar tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan. Orang yang mencuri sepeda di halaman rumah pada malam hari juga tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Lain halnya bila ada pencuri sapi dikandang diluar rumah memenuhi syarat dijatuhi hukuman potong tangan. Sebab sapi memang tidak pernah dikandangkan didalam rumah.
4. Harta yang dicuri memenuhi nisab.
Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman potong tangan ialah seperempaat dinar (seharga emas 1,62 gram). dengan demikian, pencurian harta yang tidak mencapai nisab hanya dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Nisab harta curian itu dapat dipikirkan kembali, disesuaikan dengan keadaan ekonomi suatu waktu dan tempat. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Tidaklah dipotong tangan pencuri, kecuali pada satu dinar atau sepuluh dirham (Marsum, 1988: 95)
Keadaan ekonomi pada masa Nabi, harta seharga seperempat dinar itu sudah cukup besar. Meskipun dapat pula dipahamkan bahwa kecenderungan untuk menetapkan nisab harta curian dalam jumlah amat kecil itu dimaksudkan untuk menghilangkan kejahatan pencurian yang amat merugikan ketenteraman masyarakat, karena jangan sampai hak milik seseorang tidak dilindungi keselamatannya. Hukuman pokok tersebut seharusnya diterapkan kepada pelaku pembajakan karena pada dasarnya pembajakan dalam hukum Islam dimasukan sebagai tindakan pencurian dan dijatuhkan hukuman potong tangan. Mengingat sistem hukum yang digunakan di Indonesia yang tidak menggunakan hukum Islam sebagai sumber hukum resmi negara, maka untuk mengisi kekosongan hukum mengenai aturan sanksi tindak pidana pembajakan seluruhnya diserahkan kepada pemerintah dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Adapun hukuman yang ditentukan oleh pemerintah (ta’zir) yang dapat dikenakan oleh pemerintah di Indonesia terhadap pelaku pembajakan berdasarkan diselaraskan dengan hukum positif di Indonesia. Dalam hal ini, ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan terhadap pembajakan karya di bidang hak cipta yang berupa:
1) Penjara Hukuman penjara yaitu perampasan kemerdekaan atau kebebasan. Dalam buku Teguh Prasetyo penjara dapat dilakukan dengan memasukan pelaku ke dalam sel besi/kurungan (Teguh Prasetyo, 2011:120) . Aturan mengenai hukuman penjara terhadap pelaku pembajakan terdapat di dalam pasal :
a) Pasal 113 ayat (4) dengan ancaman maksimal paling lama 10 (sepuluh) tahun;
b) Pasal 116 ayat (4) dengan ancaman maksimal paling lama 10 (sepuluh) tahun;
c) Pasal 117 ayat (3) dengan ancaman maksimal paling lama 10 (sepuluh) tahun; dan
d) Pasal 118 ayat (2) dengan ancaman maksimal paling lama 10 (sepuluh) tahun.
2) Denda Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu (Teguh Prasetyo, 2011: 123). Aturan mengenai hukuman denda terhadap pelaku pembajakan hak cipta terdapat di dalam pasal:
a) Pasal 113 ayat (4) dengan ancaman denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah);
b) Pasal 116 ayat (4) dengan ancaman denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah);
c) Pasal 117 ayat (3) dengan ancaman denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah); dan
d) Pasal 118 ayat (2) dengan ancaman denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Sumber: abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/E0011074_bab3.pd
Sumber: abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/E0011074_bab3.pd
Posting Komentar untuk "Sanksi Pelanggaran Pembajakan Terhadap Hak Cipta Dalam Perspektif Hukum Islam Berdasarkan Hasil Kajian Yuridis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta"