Tanggapan atas komentar Prof. Thomas Djamaludin
Buat teman-teman yang belum tahu tentang Riset ISRN tentang waktu subuh, silahkan baca berita berikut ini: ISRN: Waktu Shalat Subuh dan Isya Perlu Dievaluasi
Pada 24 Agustus lalu, dalam rubrik Khasanah (halaman 12), Republika memuat laporan berjudul Kemenag akan Bahas Hasil Riset ISRN Uhamka. Dalam laporan tersebut dimuat juga komentar Prof. Thomas Djamaludin tentang kehadiran awan tipis yang mungkin menghalangi munculnya sinar fajar sehingga kehadiran sinar fajar jadi terekam lebih lambat dari yang seharusnya. Komentar tersebut sama sekali tidak betul.
Berikut ini adalah tanggapan (tulisan asli Prof. Thomas) atas komentar Prof. Thomas Djamaludin dalam rubrik khasanah Republika:
Sebetulnya, tulisan ini saya kirim per email ke Redaksi Republika. Sebelumnya, saya juga menghubungi dua orang wartawan Republika. Namun, tidak ada respons yang saya terima. Berikut tanggapan saya:
Pada 24 Agustus lalu, dalam rubrik Khasanah (halaman 12), Republika memuat laporan berjudul Kemenag akan Bahas Hasil Riset ISRN Uhamka. Dalam laporan tersebut dimuat juga komentar Prof. Thomas Djamaludin tentang kehadiran awan tipis yang mungkin menghalangi munculnya sinar fajar sehingga kehadiran sinar fajar jadi terekam lebih lambat dari yang seharusnya. Komentar tersebut sama sekali tidak betul.
Berikut ini adalah tanggapan (tulisan asli Prof. Thomas) atas komentar Prof. Thomas Djamaludin dalam rubrik khasanah Republika:
Sebetulnya, tulisan ini saya kirim per email ke Redaksi Republika. Sebelumnya, saya juga menghubungi dua orang wartawan Republika. Namun, tidak ada respons yang saya terima. Berikut tanggapan saya:
Pada 24 Agustus lalu, dalam rubrik Khasanah (halaman 12), Republika memuat laporan berjudul Kemenag akan Bahas Hasil Riset ISRN Uhamka. Dalam laporan tersebut dimuat juga komentar Prof. Thomas Djamaludin tentang kehadiran awan tipis yang mungkin menghalangi munculnya sinar fajar sehingga kehadiran sinar fajar jadi terekam lebih lambat dari yang seharusnya. Komentar ini sama sekali tidak betul. Alat SQM (sky quality meter) yang kami pakai tidak merekam citra (foto) seperti kamera. SQM hanya merekam data magnitudo yang menunjukkan besaran kererlangan langit (sky brigtness). Jadi data yang direkam adalah data ASCII bukan foto, sifatnya mirip dengan data rekaman suhu tubuh, misalnya 27oC, atau timbangan berat badan 70 kg, dsb. Namun, karena alat ini bekerja secara elektronik, ada data lain yang direkam, di antaranya adalah: tanggal, waktu (jam, menit, detik), temperatur, dsb. Yang paling penting, karena alat ini beroperasi secara otomatis, perekaman data dapat dilakukan dengan resolusi sesuai dengan keinginan. Dalam penelitian kami, perekaman data dilakukan dengan resolusi 3 detik. Jadi setiap 3 detik, data di atas direkam secara otomatis. Kehadiran awan setipis apapun, akan menghasilkan noise (gangguan) yang akan tampak dalam plot data yang terekam. Mirip dengan noise yang diakibatkan oleh kehadiran Bulan, misalnya, meskipun dengan intensitas yang lebih lemah. Mengapa demikian? Karena kehadiran awan tidak mungkin merata untuk seluruh ruang spasial langit, dan merata juga setiap saat seperti kalau kita melapisi roti dengan mentega. Apalagi data direkam setiap tiga detik. Itulah karakteristik alam yang bersifat stokastik. Kalau noise seperti ini muncul di sekitar kehadiran fajar, maka data seperti ini kami buang. Itulah sebabnya, meskipun kami sudah melakukan peneltitian ini sekitar 7 bulan, data yang kami anggap valid dan kami proses baru hanya sekitar 150 hari pengamatan (untuk subuh dan isya), yang kami anggap bebas noise.
Gambar S.Q.M (Sky Quality Meter)
Prof. Thomas juga berpendapat bahwa data selama 7 bulan (150 hari pengamatan) belum dianggap komprehensif. Kami memang terus mengumpulkan data bahkan terus berusha mengumpulkan data untuk wilayah geografis lain di Indonesia melalui jaringan penelitian kami. Dua hari lalu, kami menerima juga hasil pengamatan data SQM dari Obervatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU, salah satu jaringan penelitian kami di Sumatera Utara. Ternyata, hasil pemrosesan data yang kami peroleh juga mirip. Jadi, kami menganggap hasil yang kami peroleh sudah cukup komprehensif untuk dipublikasikan. Ini dibuktikan dengan dua fakta statistik: Pertama, hasil dip (sun depression angle) yang cenderung stabil (stabilizes) pada angka -13o untuk subuh dan -11o untuk isya. Kedua, dari hitungan dip untuk sekitar 170 hari pengamatan yang kami peroleh (termasuk yang dari OIF-UMSU), tidak ada satupun yang penyimpangannya sampai tiga kali nilai simpangan bakunya (standard deviation). Ini menunjukkan reliabilitas data dan hasil hitungan kami sangat baik.
Yang terakhir, saya harus mengingatkan Prof. Thomas Djamaludin bahwa beliau merubah kriteria imkan-rukyat MABIMS dari 2-3-8 menjadi 4-6,4 hanya menggunakan 11 (baca: sebelas) data saja. Sebelas data itupun hanya data sekunder yang pengamatannya dilakukan oleh perukyat Kemenag belasan sampai puluhan tahun sebelumnya. Ini pernah saya protes dalam sebuah pertemuan. Jadi, insya Allah, ISRN dalam hal ini telah dan akan selalu menggunakan data dan informasi yang reliable dalam penelitian kami.
Ketua ISRN-UHAMKA,
Prof. Dr. Tono saksono
Berikut ini adalah link: http://www.republika.co.id/cetak/read/802934
Posting Komentar untuk "Tanggapan atas komentar Prof. Thomas Djamaludin"