ANALISA HUKUM PENGANGKATAN MENTERI NEGARA YANG MEMILIKI STATUS KEWARGANEGARAAN ASING
Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 28D ayat (4) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas
status kewarganegaraan”. Warga negara merupakan
salah satu unsur yang hakiki dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang
perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya
oleh Negara.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 1 ayat 1 menyebutkan “warga negara adalah warga suatu negara yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya pada
pasal 2 dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa “yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara”.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang menganut asas kewarganegaraan tunggal. Undang-Undang
Kewarganegaraan di Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
maupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Hal
ini sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 pasal 23 butir
a yang menyatakan bahwa
Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan
memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
Akhir-akhir ini,
masyarakat, media cetak dan elektronik diramaikan oleh pemberitaan mengenai
status kewarganegaraan Archandra Tahar yang diangkat oleh Presiden Joko Widodo
menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM) pada tanggal 27 Juli 2016
menggantikan menteri sebelumnya,
Sudirman Said. Setelah beberapa hari dilantik dan menjalani pekerjaannya
menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yaitu tepatnya 20 hari kerja,
Archandra Tahar diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo sebagai
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dikarenakan status kewarganegaraannya.
Archandra Tahar
diketahui memiliki paspor negara Amerika Serikat yang menandakan dia telah
menyandang status sebagai warga negara United
States of America.
Hal ini menjadi pemberitaan nasional dan headline
berbagai media, dan sedikit mencoreng
pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo karena dinilai telah lalai
dengan memilih dan mengangkat seorang yang
bukan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menempati posisi
strategis bidang energi di Indonesia yaitu Menteri ESDM.
Segi
Filosofis
Menurut
Sri Soemantri, kewarganegaraan adalah sesuatu yang saling berhubungan dengan
manusia sebagai individu dalam suatu perkumpulan yang terorganisir dalam suatu
hubungan dengan negara. Graham Murdock mendefinisikan kewarganegaraan sebagai
hak untuk berpartisispasi secara utuh dalam berbagai pola struktur sosial,
politik serta kehidupan kultural serta dapat membantu menciptakan bentuk-bentuk
yang selanjutnya dengan begitu maka memperbesar ide-ide.
Kajian
mengenai teori kewarganegaraan secara garis besar terklarifikasi menjadi 4
macam yakni ;
1.
Liberal Citizenship
John Locke dan
John S.Mill mengkonsepkan kewarganegaraan yang memandang kebebasan individual
yang memuat di dalamnya sejumlah hak-hak dasar. Didalam teori ini, individu
dapat memiliki kepemilikan, mendapat perlindungan terhadapnya dan pelaksanaan
yang sah menurut hukum atas hak-hak tersebut
2.
Communitarian
Citizenship
Fokus utama teori ini
adalah peran serta warga negara dalam komunitas. Teori ini bukanlah reaksi dari
liberalisme citizenship, namun
berdiri pada dimensi social, kewargaan dan politik dari komunitas politik.
Delanty menyebutkan komunitarisme lebih memodifikasinya menjadi demokrasi
kultural.
3.
Republican Citizenship
Teori ini
menekankan pada kebebasan individu hanya mungkin ada dalam suatu jaminan
keamanan negara yang berada di bawah rule
of law dan kebajikan warga negara (civic
virtues) untuk berpartisipasi di dalamnya.
Dagger mengatakan jika seorang republican
harus komitmen terhadap kebaikan bersama (common Good) dan partisipasi aktif dalam kepentingan-kepentingan
public.
Di
Indonesia asas yang digunakan dalam penentuan warga negara meliputi:
a.
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan
negara tempat kelahiran.
b.
Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah
asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat
kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c.
Asas kewarganegaraan
tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda
yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu
pengecualian.
d.
Asas kewarganegaraan
ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
e.
Asas kepentingan
nasional
f.
Asas perlindungan
maksimum
g.
Asas persamaan di dalam
hukum dan pemerintahan
h.
Asas kebenaran
substantif
i.
Asas nondiskriminatif
j.
Asas pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia
k.
Asas publisitas
Dengan
adanya asas-asas tersebut, warga negara yang di akui oleh negara mendapatkan
hak-hak yang telah di jamin oleh negara seperti yang sudah disebutkan di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hak-hak warga negara, negara wajib
membentuk pemerintahan dengan segala bidang-bidang yang membawahinya sehingga
membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang
menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Salah satunya
adalah kementerian
yang berada di bawah komando presiden.
Menteri selaku pembantu presiden yang mengurusi di
kementerian, mengurusi perangkat
pemerintah dan membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dalam pengangkatannya, setiap WNI yang memenuhi syarat
pengakatan menteri dapat diangkat oleh presiden menjadi menteri. Seperti kita
tahu, menteri bertugas untuk mengatur bidang-bidang dalam pemerintahan
khususnya urusan Pemerintahan Indonesia, pun kaitanya dengan status
kewarganegaraan yang berarti ;
1)
Pemerintah dalam hal
ini sudah mengakomodir hak-hak warganegara nya untuk aktif di pemerintahan
khususnya menjadi menteri.
2)
Menurut Arif Budi,
seharusnya urusan rumah tangga suatu negara menjadi tanggungjawab warga negara
tersebut. Seyogyanya segala kepentingan terkait urusan dan rahasia kepemerintahan diketahui oleh
warga negaranya saja.
3)
Akan timbul semangat
nasionalisme jika seluruh elemen pemerintahan diduduki oleh warga negara
Indonesia, karena hanya warga negaralah yang mengetahui maksud daripada tujuan negara. Dengan
demikian, maka pencapaian dari
cita-cita negara yang diamanatkan dalam pancasila dan Undang-undang dasar 1945 dapat diwujudkan.
Segi Sosiologis
Dalam sejarah perjalanannya,
pasal 26 UUD 1945 telah menimbulkan dua persoalan sosiologis yuridis di bidang
hukum kewarganegaraan, yaitu:
1.
Pemahaman “orang-orang
bangsa Indonesia asli” menimbulkan penafsiran yang ambigu, yakni dapat dipahami
sebagai:
a. Orang-orang
berikut keturunannya yang telah ada di Indonesia sejak Indonesia menytakan
kemerdekaannya pada tgl 17 agustus 1945, ataukah
b. Orang-orang
sejak zaman peradaban Indonesia terbentuk sudah ada di bumi nusantara. Termasuk
dalam hal ini adalah yang masuk golongan phitecanthropus paleo javanicus
ataupun homo soloensis yang fosilnya diketemukan di sangiran dan
disepanjang Bengawan solo, ataukah
c. Orang-orang
yang pada prinsipnya dianggap cika-bakal
atau nenek moyang pembentuk bangsa Indonesia, yang berarti di tnjau dari aspek
rasnya, ataukah
d. Orang-orang
yang dalam sejarah bangsa Indonesia berasal dari yunan utara didaratan cina
serta pedagang dari Gujarat.[1]
Keempat
penafsiaran semacam ini, daalm dataran hukum jelas sulit untuk dilacak atau
dibuktikan, karena yg disebut “bangsa asli” sering hanya dikaitkan dengan aspek
fisiologis manusia, seperti warna kulit, bentuk wajah. Padahal dalam
berbagai aspek fisiologis manusia, ini juga dapat direkayasa melalui
berbagai cara. Entah berdasarkan kondisi alam ataukah rekayasa genetika,
seperti kloning.
2.
Konsep Pasal 26 UUD 1945 (sebelum
amandemen) menyiratkan adanaya
dua kelompok warganegara Indonesia, yaitu warganegara kelompok pribumi dan non
pribumi yang pada akhirnya berakibat pada pembedaan perlakuan bagi warrga
Negara.
Kedua persoalan
sosiologis yuridis tersebut diatas, dalam dataran pelaksanaan lebih lanjut
melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya (dari UU
sampai dengan Keppres maupun Inpres) telah menimbulkan penegakkan hukum
kewarganegaraan yang diskriminatif.
Bagi golongan pertama (yang dianggap pribumi, cikal-bakal bangsa Indonesia,
ataupun orang-orang bangsa Indonesia asli) secara otomatis sudah menjadi WNI. Artinya tanpa melalui
upaya hukum apapun sudah dianggap sebagai WNI.
Sedangkan bagi golongan kedua (non pribumi, bukan cikal-bakal bangsa Indonesia
ataupun orang-orang bangsa asing), untuk disebut sebagai WNI harus melakukan
upaya-upaya hukum tertentu yang memakan waktu, biaya dan tenaga yang relatif
besar sebagai akibat birokrasi yang berbelit-belit.[2]
Keberadaan
paspor ganda sebenarnya bukan masalah “penguasaan lahan” atau “investasi asing”
dan sebagainya, selain masalah nasionalisme,
lebih daripada itu adalah kepada pencegahan penyelamatan Negara (yang sedang
berkembang) dari pengaruh buruk campur tangan asing (agen ganda) yang membawa
keburukan bagi bangsa.
Segi
Yuridis
Apabila ditinjau
dari sisi hukum, maka pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM oleh Presien Joko
Widodo pada tanggal 27 Juli 216 diwarnai adanya pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
yaitu:
1.
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Seorang
Menteri diangkat oleh Presiden dan untuk dapat diangkat menjadi Menteri,
seserang harus memenuhi beberapa persyaratan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara pasal 22 ayat 2 menyebutkan
bahwa salah satu syarat untuk menjadi seorang menteri adalah warga negara
Indonesia.
Dengan
ditemukannya kepemilikan paspor United
State of America yang masih berlaku atas Archandra
Tahar, maka ada pelanggaran terhadap undang-undang oleh pemerintahan Joko
Widodo dimana mengangkat warga negara asing menjadi menteri, meskipun Archandra
Tahar memiliki paspor Indonesia sebelum menerima paspor Amerika Serikat.
Lalu
Berdasarkan Pasal 22 ayat 2 (c) disebutkan bahwa seorang menteri harus setia
kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan. Maka kesetiaan kepada bangsa Indonesia Archandra Tahar pun
dipertanyakan. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan paspor sebagai warga
negara United State, maka seseorang
harus melewati serangkaian proses salah satunya adalah pengambilan sumpah kesetiaan “Oath of Allegiance” sebagai warga negara United State.
2.
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
Adapun
tindakan pemerintah yang menodai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
terkait pengangkatan Archandra Tahar sebagai menteri diantaranya adalah :
a)
Kehilangan status
kewarganegaraan.
Apabila
ditinjau dari UU nomor 12
tahun 2006 pasal 23 Archandra Tahar dapat dikatakan telah kehilangan statusnya
sebagai warga negara Indonesia dikarenakan hal-hal berikut :
a.
|
Memperoleh kewarganegaraan lain atas
kemauannya sendiri
|
f.
|
Secara
sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing
atau bagian dari negara tersebut
|
h.
|
Mempuyai
paspor atau surat yang
bersifat paspor dari negara asing atau suurat yang dapat diartikan sebagai
tanda kewarganegaraan yang masih belaku dari negara lain atas namanya
|
Dengan dipenuhinya
unsur-unsur seseorang kehilangan status kewarganegaan, maka pengangkatan
Archandra sebagai Menteri tidak dapat dibenarkan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, syarat utama menjadi seorang menteri adalah seorang WNI.
b)
Pengawasan pemerintah
Pengangkatan
seseorang pemegang paspor negara asing
sebagai menteri maka menimbulkan pertanyaan, bagaimana pengawasan
pemerintah terhadap status kewarganegaraan warganya khususnnya bagi warga
negara indonesia yang menetap atau tinggal di luar wilayah negara kesatuan
Republik di Indonesia. Pada UU nomor 12 Tahun 2006 pasal 29 disebutkan bahwa ”Menteri mengumumkan nama orang yang
kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik
Indonesia”.
Apabila
dikaitkan proses pengangkatan Archandra Tahar dengan pasal tersebut, maka dapat
dikatakan ada fungsi pemerintah yang tidak berjalan yaitu pengawasan status
kewarganegaraan warganya. Bagaimana bisa pemerintah terkesan “tidak tahu/lalai”
mengenai hal ini.
Oleh: Dania Syafaat, S.H.
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
Yuk baca tulisan Dania lainnya disini
[1] B. Hestu Cipto
Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia,
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003, hlm.243.
[2] Ibid,
hlm. 244.
Posting Komentar untuk "ANALISA HUKUM PENGANGKATAN MENTERI NEGARA YANG MEMILIKI STATUS KEWARGANEGARAAN ASING"