Peradaban : Kebudayaan yang Menemukan Bentuk
“segala sesuatu di
alam semesta yang telah mendapat sentuhan dari manusia maka bisa dikatakan
sudah ada kebudayaan dengan taraf atau kadar masing-masing”
Oleh : Hendrik Kurniawan
Pada hakikatnya semua peradaban dan kebudayaan
berada pada satu kedudukan yang sama, tidak ada yang merasa paling tinggi
maupun rendah. Yang membedakan setiap kebudayaan adalah bagaimana kebudayaan
itu mampu membawa manusianya ke tingkat yang lebih beradab yang menempatkan
manusia sebagaimana manusia, alam sebagaimana alam dan Tuhan sebagaimana Tuhan.
Bahkan mampu mengintegrasikan tiga faktor tersebut dengan adil dan menghasilkan
kesejahteraan bagi segala macam makhluk.
Budaya merupakan segala semesta yang sudah mendapat
tanda dari eksistensi manusia setidaknya itu menurut Magnis Suseno. Ini artinya
segala sesuatu di alam semesta yang telah mendapat sentuhan dari manusia maka
bisa dikatakan sudah ada kebudayaan dengan taraf atau kadar masing-masing.
Makin sering alam semesta mendapat sentuhan manusia, makin berkembang taraf
kebudayaan. Tentunya interaksi tersebut harus disertai pengembangan segala
potensi yang dimiliki oleh manusia. Maka tidak salah bila Koentjaraningrat
mengatakan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari budidaya segala potensi
manusia. Alam semesta yang masih alami disebut dengan nature, sedangkan alam yang sudah mendapat sentuhan eksistensi
manusia disebut culture.
Manusia memiliki potensi jiwa dan raga. Dalam
pandangan Notonegoro yang menggunakan kacamata Platonis, jiwa memiliki tiga
bagian yakni akal, rasa dan karsa. Akal berada di kepala, yang mengarahkan
manusia untuk dapat membedakan benar dan salah, untuk menganalisis (memisahkan)
dan mensintesiskan (menggabungkan) sesuatu, untuk melakukan pendefinisian dan
kerja intelek lainnya. Sedangkan rasa yang berada di dada yang berfungsi agar
manusia dapat merasakan, memaknai, serta kerja emosional lainnya. Terakhir
adalah karsa, yakni keinginan yang membuat manusia memiliki hasrat untuk
berkembang, hasrat untuk memiliki, hasrat untuk hidup dan naluriah yang lain. Ketiga
hal tersebut harus diintegrasikan dengan baik agar memiliki jiwa yang sehat. Ketika
jiwa dan raga bersinergi dengan baik maka manusia tersebut siap berinteraksi
dengan alam semesta dan Tuhan. Dari situlah muncul kebudayaan.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa budaya merupakan ibu
kandung ilmu pengetahuan. Ini pernyataan yang menarik. Sebab di perkuliahan
pada umumnya yang dinamakan mother of
science adalah filsafat. Namun harus diperhatikan, sebenarnya filsafat
bukanlah ibu yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan. Filsafat boleh dikatakan
sebagai nenek dari ilmu pengetahuan. Karena sebelum ilmu pengetahuan muncul,
muncullah entitas yang disebut sebagai budaya. Budaya merupakan turunan dari
filsafat. Filsafat masih berada di tataran ide dan alam fikir, sedangkan budaya
sudah berada di ranah kongrit dan praksis, namun juga berakar pada ide.
Budaya bisa diartikan sebagai hasil bentuk
sekaligus yang membentuk manusia. Budaya bisa berwujud ide, kebiasaan, tradisi,
benda, bangunan, maupun teknologi. Ini artinya budaya tidak melulu diartikan
sebagai tradisi atau masa lalu. Budaya adalah segala hal yang melingkupi
manusia dan kemanusiaan. Sebelum peradaban lahir, kebudayaanlah yang menjadi
puing-puing penyokongnya. Peradaban adalah kebudayaan yang sudah menemukan
bentuk.
Editor : Ilham Kamba
Posting Komentar untuk "Peradaban : Kebudayaan yang Menemukan Bentuk"