Bisakah Keluar Dari Buih?
Oleh : HENDRIK KURNIAWAN W
“…jumlah kalian banyak, namun kalian bagaikan
buih di lautan…”
(Hadist
Riwayat Abu Dawud)
Sekarang kita berada di periode ketika apa yang dikatakan Rasulullah
SAW 14 abad silam terjadi. Jumlah kita begitu banyak, namun hanya seperti buih di lautan yang tiada manfaatnya. Buih yang ketika terhempas ke daratan
menghilang tanpa jejak. Apakah kita sedang dalam kebimbangan periodik? Atau bisakah
kita keluar dari kungkungan kenyataan ini.
Waktu telah berganti, ruangpun tak luput dari perubahan itu sendiri.
Kita telah melewati berbagai macam fase yang membuat kebudayaan kita seperti
yang kita rasakan. Modernisasi yang terhembus dari barat tak dapat disangkal di
satu sisi memberikan kemajuan fisik berbagai peradaban. Listrik yang teralirkan
ke bolam lampu, menjadi penerang di malam hari. Mesin-mesin penggerak telah
memajukan ekonomi industri yang secara langsung menjadi pemicu kemajuan sosial,
politik dan budaya. Tesis Karl Marx tentang hakikat ontologis kehidupan yakni
ekonomi terbukti di sini. Jika ekonomi sebuah peradaban maju, maka maju pula
dimensi realitas yang lain seperti budaya, sosial dan teknologi. Sepertinya
pemikiran seperti ini telah menjadi mainstream di dunia.
Berbagai macam penemuan telah dilakukan. Dunia sedang bergerak
menuju ke arah teknologis. Teknologi menjadi ujung tombak manusia dalam
menjalani rutinitas sehari-hari. Contoh sederhana, ketika bangun tidur hal
pertama yang dilakukan oleh kebanyakan orang adalah mencari HP. Contoh lain
adalah orang akan kebingugan ketika terjadi pemadaman listrik bergilir oleh
PLN. Hal ini menunjukkan betapa kita bergantungnya pada teknologi.
Ummat Islam, sedang berada di tengah situasi seperti ini. Memang
bukan berarti ummat ini ujug ujug ada
dalam kancah kemajuan besar sepanjang sejarah manusia. Perkembangan kemajuan
peradaban tersebut, juga tidak bakal ada tanpa adanya peran ummat Islam di masa
keemasannya pada abad 7-15 masehi silam. Pada masa awal Islam diwahyukan kepada
Muhammmad (SAW), terjadi revolusi kebudayaan besar di tanah Arab. Mereka yang
semula berpandangan paganis dengan moralitas relative (berubah-ubah),
bertransformasi menjadi monoteistik yang menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan.
Pada saat sebelum Islam datang di tanah Arab, perbudakan telah menjadi
kebiasaan, wanita diperlakukan bagaikan benda, korupsi nepotisme meraja lela,
serta kebodohan-kebodohan peradaban dipertahankan.
Setelah agama ini turun dan menyebarkan dakwahnya di segala penjuru
negeri, terjadi pula revolusi pemikiran dan peradaban. Pusat kekuasaan yang
berada di Mekkah dan Madinah berpindah ke, Damaskus, kemudian Baghdad, lalu
Andalusia, Granada, Mesir sampai ke Istanbul. Penyebaran agama dari Spanyol
sampai ke Indonesia datang dengan kedamaian. Karena prinsip agama Islam adalah
“Tidak ada paksaan dalam agama” (Laa
ikrahafiddin). Orientasi pemikiran
manusia yang semula terkungkung pada hegemoni alam (gunung, lautan, dewa, jin
dan lain sebagainya), serta otoriterisme personal (otoritas raja-raja kuno :
Firaun, dll) dibebaskan menuju hakikat kemanusiaan yang merdeka, utuh dan
esensial yakni sebagai hamba Tuhan dan pemakmur dunia.
Manusia pun menemunkan eksistensi dan posisinya sebagai hamba Tuhan
yang wajib mengabdikan diri kepadaNya semata (bukan pada manusia atau sistem)
serta pemakmur semesta. Mereka mampu mendefinisikan diri ke dalam ranah
realitas untuk sadar bahwa ada Dzat yang wajib dimuliakan dan diagungkan, namun
tidak lupa bahwa mereka punya kewajiban untuk mengaktualisasikan potensi
kemanusiaannya untuk membangun kebudayaan yang beradab, yang selaras dengan
alam.
Hal inilah yang dioptimalkan generasi-generasi zaman Rasulullah,
Khulafauraasyidin, sampai ke Dinasti Umayah, Abbasyiah, Andalusia, dan Ottoman.
Mereka memaksimalkan segala potensi yang ada, dan melakukan pembaharuan
paradigma yang tak tanggung-tanggung. Berbagai penemuan di bidang filsafat,
sastra, matematika, biologi, fisika, kimia, kedokteran, aristektur, pertanian
dan lain sebagainya banyak dilakukan. Bahkan perpustakaan terlengkap di dunia
berdiri megah di kota Bagdad pada saat itu, sebelum kemudian di bakar habis
oleh tentara Jengis Khan. Islam pada saat itu tidak hanya ada di Timur
(Damaskus, Bagdhad), namun juga menjulang tinggi di Barat (Spanyol). Bahkan
kedua dinasti besar itu menjadi super power dan trend peradaban di masanya. Mungkin
seperti Amerika saat ini.
Penulisan ini bukan berarti penulis “gagal move on” (jika dibahasakan oleh anak gaul sekarang) atau
terjebak pada romantisme masa lalu. Justru kita mengingat fakta sejarah yang
ada agar kita tidak ahistoris dengan
peradaban sekarang yang bergerak begitu cepat dan dinamis. Perkembangan
kebudayaan Eropa menjadi maju juga karena transfer ilmu pengetahuan yang
dilakukan di masa perang salib. Eropa pada masa Islam sedang berada di puncak
kejayaan, berada dalam posisi amat sangat tertinggal. Buta huruf, kemiskinan,
kebodohan, wabah penyakit bahkan kanibalisme meraja lela. Mereka yang menikmati
buku dan ilmu hanya golongan gereja dan kaum bangsawan kerajaan. Rakyat jelata
tidak mudah mendapat akses pendidikan.
Pada saat perang salib terjadi eksodus besar-besaran orang-orang Eropa
menuju Jerussalem yang tentunya melewati negeri-negeri kaum muslimin. Perang
salib sebenarnya bukan hanya perang kontak fisik senjata saja. Namun juga
terjadi pertemuan budaya antara budaya Eropa dan Islam. Seperti yang dikatakan
Ibnu Khaldun, bahwa budaya yang kuat akan menguasai budaya lemah. Karena pada saat itu kebudayaan
Islam begitu kuat, maka banyak orang Eropa yang tertegun melihat gemerlap
peradaban Islam. Mereka pun banyak yang tertarik untuk belajar kebudayaan dan
ilmu yang ada di sana. Di Andalusia apalagi, karena wilayanya yang berada di
Eropa Barat, maka persilangan budaya sangat kuat terjadi.
Pada saat reniaisans (masa
pencerahan) terjadi gelombang besar orang-orang Eropa yang sadar akan
pentingnya ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Rene Descartes seorang
matematikawan Prancis yang juga filsuf. Dia mempromosikan dictum “Cogito Ergo Sum”, (I think so I am), aku
berfikir maka aku ada. Betapa dia mendambakan dan mengagungkan rasionalitas
untuk dijadikan dasar masyarakat Eropa pada saat itu untuk bertindak. Maka
dimulailah pencerahan yang berlanjut ke masa revolusi industri, revolusi
prancis hingga akhirnya mencapai masa modernitas ini.
Di saat Eropa sedang berkembang-berkembangnya, ummat Islam sedang
berada di masa kemerosotan. Hal ini disebabkan faktor internal dan eksternal.
Internal yakni, kemerosotan moralitas para pemimpin, birokrat bahkan sampai
ulama. Orientasi kebudayaan mereka telah bergeser menuju duniawi, aspek
ruhaniyah sedikit demi sedikit terkikis. Menurut pakar sejarah Majid Irsyad Al
Kilani, di masa Abbasiyah raja bahkan lebih memilih untuk mengurus burung peliharaannya
daripada mengurusi kemiskinan yang meraja lela di Baghdad. Ulama bungkam saja
melihat kondisi kerajaan seperti ini. Lain lagi menurut Tamim Anshari, proses
kehancuran Turki Usmani disebabkan terjadi korupsi dan nepotisme di ranah para
birokrat kerajaan. Ketika raja, birokrat dan ulama kehilangan otoritas
fungsionalnya, maka rakyatpun akan menjadi chaos.
Faktor eksternal kehancuran peradaban islam adalah karena ekspansi
militer dari kerajaan-kerajaan eropa, suku-suku moghul, serta pendangkalan keyakinan
dari aliran-aliran kebatinan dan filsafat yang menyesatkan. Perang Salib
menjadi salah satu momentum sejarah yang menjadi sorotan. Pernah suatu ketika
pasukan Templar yang melakukan ekspansi menuju Jerussalem sampai membumi hangus
serta membanjiri darah kota-kota yang dilewatinya. Benar-benar suatu catatan
kelam peradaban manusia.
Dua faktor di atas yang mungkin hanya beberapa cuplikan sejarah yang
diidentifikasi. Masih banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan ummat berada
di posisi seperti sekarang. Kita telah kehilangan power dalam setiap aspek
simpul peradaban. Ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, kita
lemah di semua itu. Jumlah kita yang banyak tak ayal hanya sebagai gerombolan
semata.
Negeri dengan mayoritas muslim dan beragama Islam belum mampu
menjadi benar-benar rahmat semesta alam. Bahkan bisa dibilang negeri dengan
mayoritas muslim kalah bersih secara fisikal dan mental dibanding negeri
orang-orang yang notabenenya “kafir”. Bandingkan Indonesia dengan Swiss,
Malaysia dengan Jepang dan lain sebagainya. Tingkat korupsi di Negara muslim
terhitung lebih banyak dibanding negeri non muslim. Mengapa hal ini terjadi?
Padahal dalam Al Qur’an surat Al Imran 110 disebutkan, “kamu ummat
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyeru pada yang ma’ruf,
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”. Pada ayat tersebut
disebutkan bahwa kita adalah “ummat yang terbaik”. Terbaik yakni seharusnya
menjadi terdepan di segala bidang. Paling ideal, paling bermanfaat dan paling
memberikan ketentraman. Bayangkan betapa generasi awal telah benar-benar
memegang ayat ini, hingga akhirnya dapat menjadi super power dunia. Rahmat bagi
semesta.
Namun mengapa ummat islam
seperti ini seperti telah kehilangan ruh ayat ini? Perhatikan kembali ayat
tersebut. Untuk menjadi ummat terbaik ummat Islam harus benar-benar mengamalkan
syarat-syarat yang ditentukan. Syarat yang ditentukan ada tiga macam, yaitu
menyeru pada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.
Dalam kancah ilmu sosial Kuntowijoyo memberikan gambaran ideal yang
harus dilakukan untuk menuju ummat terbaik. Beliau, memberikan gambaran syarat
ummat terbaik ini menjadi tiga kateogori besar : menyeru pada yang ma’ruf yang
berarti humanisasi, mencegah dari
yang mungkar yang berarti liberasi
dan beriman kepada Allah yakni transendensi.
Humanisasi mencakup cita-cita liberalisme yakni memanusiakan manusia serta
penjunjungan harkat martabat kemanusiaan. Namun bukan berarti liberalisme yang
totaliter yang sampai menghasilkan manusia individualis, egois yang sangat
kental eksistensialis. Humanisasi merupakan nilai yang menjunjung tinggi
akhlakul karimah.
Liberasi mencakup cita-cita marxisme, yakni pembebasan manusia dari
segala jerat. Baik itu jerat sistem maupun individu. Tujuan dari liberasi
adalah kemerdekaan kemanusiaan menjadi manusia yang utuh dan hakiki. Nilai ini
merupakan nilai perjuangan untuk melawan segala bentuk kedzaliman. Jeratan
sistem yang mengkungkung, seperti kapitalisme, komunisme ataupun yang lain
harus dilawan sepenuh hati. Begitu juga jeratan nafsu yang mengkungkung
individu hingga dia menjadi budak syahwat. Harus dilawan agar manusia meraih
kemuliaannya sebagai manusia seutuhnya.
Transendensi merupakan cita-cita agama agama secara umumnya. Beriman
kepada Allah menjadi hambaNya adalah hal hakiki yang selalu dikumandangkan
semua agama. Manusia pada hakikatnya adalah hamba Tuhan, yang harusnya
mengabdikan dirinya untuk Tuhan. Seberapapun diri manusia, apakah dia si kaya
atau si miskin, muda, tua, cerdas maupun bodoh pada dasarnya sama di hadapan
Tuhan. Yang membedakan derajat kemanusiaan di mata Tuhan adalah ketaqwaannya. Taqwa
disini bisa diartikan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Namun juga
bisa diartikan semakin dekat dengan Allah, dan semakin bermanfaat bagi semesta.
Tiga landasan nilai tersebut yaitu, humanisasi, liberasi dan
transendensi disebut oleh Kuntowijoyo sebagai paradigm profetik. Apabila ummat
Islam benar-benar menggunakan paradigma ini yang kemudian diterjemahkan secara
optimal dalam ranah aksi maka ummat ini dapat memenuhi ideasionalitas Al Quran
sebagai “khairu ummah” atau ummat
terbaik. Maka sudah seharusnya kita keluar dari kejenuhan ini. Cukup nubuwah
rasul yang mengatakan ummat ini seperti buih lautan sudah terbukti dalam
beberapa periode saja. Saatnya kita keluar dan melampaui masa kelam ummat
menuju ummat yang diharapkan Allah dan RasulNya.
Wallahu’alam.
Blog bang Hendrik : https://kanggongopo.wordpress.com/
Editor : Galih
Posting Komentar untuk "Bisakah Keluar Dari Buih?"